Melanjutkan pembahasan atas logical empiricism beberapa waktu lalu, kali ini saya akan mengangkat asumsi yang melandasi logical empiricism serta salah satu mazhab pembawanya: Popperian.
Apa itu mazhab Popperian?
Nah, kalau anda pernah melakukan penelitian yang menggunakan model pengujian hipotesis maka sebenarnya, anda bisa dikatakan termasuk penganut Popperian. Mengapa? Lebih lanjut… apakah anda anti Tuhan? Jawabannya sebentar lagi… 🙂
Sir Karl Popper lahir di Vienna tahun 1902 dan mendapatkan gelar PhD pada tahun 1928. Bayangkan umur 26, beliau telah meraih gelar akademik tertinggi dari Universitas Vienna. Cerdas luar biasa! Karya Popper yang monumental antara lain Logic der Forschung (The Logic of Scientific Discovery). Beliau pernah menghadiri beberapa pertemuan Vienna Circle, namun menolak untuk disebut sebagai bagian dari anggotanya. Walaupun demikian, ia setuju dengan sikap rasional atau yang ia sebut sebagai attitude of enlightenment.
Alasan mengapa ia menolak menjadi bagian dari Vienna Circle adalah karena ia melihat bahwa Vienna Circle masih menerima inductionism. Sedangkan Popper merasa bahwa “…induction is invalid in EVERY sense and therefore UNJUSTIFIABLE… The belief that we use induction is a mistake. It is kind of optical illusion”
(Penjelasan: Deduksi adalah proses pencarian kebenaran yang berangkat dari teori, sedangkan induksi berangkat dari praktik. Induksi seringkali dilakukan pada penelitian yang bersifat kualitatif).
Asumsi tentang ilmu yang anti-induksi ini memunculkan aliran baru yaitu CRITICAL RATIONALISM. Popper memerangi relativisme intelektual. Teori seperti Marxisme baginya menyesatkan karena peryataan tentang kebenaran tersebut tidak didukung “ilmu”. Nah, maka muncullah suatu metode, dilandasi critical rationalism, yang menyatakan bahwa kita harus secara kritis menerima apa yang kita anggap benar melalui serangkaian ujian rasional. Teori hanya bisa kita terima apabila kita tidak bisa menyalahkan (salah=false) teori tersebut. Inilah kemunculan FALSIFIKASI.
Metode Falsifikasi memulai investigasi dengan MASALAH, dan kita mengambil masalah yang kita PERKIRAKAN dapat kita pecahkan secara RASIONAL. (Jadi tidak mengambil masalah yang kira-kira tidak akan dapat dipecahkan). Selanjutnya, secara rasional kita harus menyediakan serangkaian solusi yang akan diuji kemampuannnya dalam menyelesaikan masalah. Solusi yang direncanakan ini berupa HIPOTESIS, yang akan melalui CRITICAL TEST untuk melihat apakah solusi ini dapat memecahkan masalah (hence= new theory).
Menurut Popper, sains harus dikembangkan dengan sangat berhati-hati… Tidak seperti para induksionis, maka ilmuwan belajar dari kesalahan mereka (memfalsifikasi teori), dan ini dilakukan secara trial and error. Sebuah teori hanya dianggap benar apabila ia telah menjalani serangkaian tes kritis dan dinyatakan telah dikonfirmasi kebenarannya (confirmed/corroborated).
Baik, itu adalah asumsi fundamental dari logical empiricism Popperian… bagaimana dengan hubungannya dengan anti-Tuhan?
Kalau saya bertanya pada anda… mengapa anda beribadah? Apa jawaban anda? untuk mendapatkan kedamaian? untuk masuk surga? kebutuhan sebagai manusia? iman?
Semua jawaban itu tentu akan sangat sulit diterima karena tidak bisa difalsifikasi. They are all optical illusion :). Apakah benar jika anda semakin sering beribadah maka anda akan masuk surga? Apa bukti empirisnya? Lebih jauh lagi… apakah ada Tuhan? Apa bukti empirisnya?
Maka semua jawaban tadi tentu sulit diterima sebagai KEBENARAN bagi penganut logical empiricism.
Saya jadi ingat sebuah buku yang saya baca dengan judul “Mind of God“. Bagi kaum atheis, lebih disukai untuk menyatakan bahwa kebenaran rasional belum terungkap (melalui eksperimen) daripada menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara rasional karena semua berasal dari Tuhan.
Nah, apakah anda penganut logical empiricism? Atau apakah “ilusi’ juga merupakan kebenaran? 🙂
Tunggu kelanjutannya… insyaAllah