Setelah saya membahas tentang Mazhab Popper (Popperian) di Bagian 2, kali ini saya angkat mencoba mengangkat bagaimana Popperian masuk ke dalam wilayah Ekonomi dan Akuntansi. Salah satu alasan mengapa Popper tertarik dengan ekonomi ialah karena ia menganggap ekonomi adalah ilmu yang kurang berkembang dan kurang berhasil dibandingkan ilmu alam. Ia menganggap bahwa jika segala sesuatu dapat diukur secara matematis, maka ekonomi akan mengalami apa yang ia sebut sebagai sebuah revolusi- Newtonian Revolution.
Menarik untuk dicermati, bahwa Popper secara spesifik “mengincar” untuk memengaruhi perkembangan sains sosial melalui asumsi filosofis yang sama dengan sains alam (natural science).
Sains Alam (eliminasi error)- Sains Sosial (eliminasi ketidakbahagiaan)
Asumsi fundamental inilah yang menyebabkan hilangnya batas antara sains alam dan sains sosial. Semua dianggap sama. Oleh karena itu, sebagaimana sains alam, Popper menolak historicism (asumsi fundamental yang digunakan oleh paradigma kritis seperti Marxism’s Historical Materialism).
Baginya, historicism adalah false method dan buah pikirnya ditulis dalam sebuah buku “The Poverty of Historicism“. Di sini ia menyatakan bahwa setiap individu mengendalikan arah hidupnya masing-masing. Tidak ada kekuatan sejarah yang dapat menentukan masa depan orang-orang. Olah karena itu sains sosial HARUS dimulai dengan METHODOLOGICAL INDIVIDUALISM. Popper menyatakan dalam bukunya tersebut (1960):
“It is quite unassailable doctrine (doktrin yang tidak terbantahkan) that we must try to understand all collective phenomena as due to the actions, interactions, aims, hopes, and thoughts of individual men, and as due to traditions created and preserved by individual men”
Saya jadi teringat buku Daniel Bell tentang Kapitalisme yang menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis, ukuran kebahagiaan selalu berawal dari diri individual bukan masyarakat. Menurut bacaan saya, dalam banyak hal, Popper (yang mana FALSIFIKASI nya telah digunakan sebagai metode yang dianggap saintifik bagi ekonomi dan akuntansi) sebenarnya merupakan tautan yang kuat dengan kapitalisme.
Bukankah kemudian nyata bahwa kebahagiaan diri merupakan tujuan akhir penggunaan Popperian pada ilmu ekonomi (kapitalis) dan akuntansi (kapitalis?). Bukti nyata adalah pada The Nature of Men-nya Jensen dan Meckling tentang rational men. Lebih dalam lagi ditemukan pada Teori Akuntansi Positif-nya Watts dan Zimmerman, yang kemudian berlanjut pada Agency Theory. Semua mengusung “kebenaran” yang sama: setiap individu adalah manusia rasional yang ingin memaksimalisasi keuntungan.
Kira-kira jika teori ini terus menerus digaungkan… apakah tidak membentuk praktik dan realita (kalau istilahnya Pierre Bordieu adalah doxa)? Sehingga nyata pula bahwa Laporan Laba Rugi menjadi lebih populer (saintifik?) dibanding Value Added Statement.
Jadi, setelah memahami hal ini, jika metode logical empiricism- Critical Rationalism (Falsification) digunakan, apakah tidak melenceng dari nilai kerakyatan (bukan individu) yang dianut Indonesia; nilai kesatuan ummah (bukan individu) yang dianut Islam?