Seperti biasa, sebelum perkuliahan esok hari, selalu ada persiapan yang dilakukan sebagai dosen yang baik… (harusnya mahasiswa juga gitu yah..)
Saya membuka kembali beberapa buku yang sudah pernah saya baca. Salah satu buku rujukan wajib (menurut lembaga profesi) adalah Duska dan Duska (2003) yang berjudul “Accounting Ethics”. Mungkin dulu saya membacanya sekadar men-scan, mengingat saya hanya memetakan kesamaan pembahasan teori etika dengan buku lain… toh secara normatif, saya sudah mempelajari teori-teori etika tersebut. By definition- it’s clear. 🙂
Entah mengapa, kali ini saya tertarik untuk menelusuri kata demi kata. Saya sampai pada halaman 47-51 dan mendapatkan kutipan sebagai berikut:
“Self interested pursuits are not bad, they are good. It is healthy if everyone pursues their interest… Even if the psychological egoists call that “selfish behaviour”, it’s the kind of behaviour we want… Justifies that appeal by predicting that in the long run it will benefit society”
Ini menjelaskan bahwa self interest adalah benar. Self interest membantu ekonomi (KAPITALIS) in the long run.
Saya jadi berpikir… mungkin salah satu kegagalan pendidikan etika akuntansi adalah karena ia dibangun berdasarkan asumsi human nature yang serupa dengan bangunan akuntansi itu sendiri. Bukankah Jensen (1994:44) menjelaskan bahwa “ the central position of agency theory is that rational self interested people always have incentives to reduce the losses these conflicts engender”. Hal ini senada dengan Positive Accounting Theory nya Watts and Zimmerman (1986:3) yang menjelaskan:
“We assume that all these various parties in selecting or recommending accounting and auditing procedures act so as to maximize their own welfare (i.e. their expected utility). To make a decision on accounting reports, individuals want to know how the alternative reporting methods affect their welfare.”
Kalau mau dirunut kembali, ini bisa jadi diakibatkan metode pembangunan ilmu (termasuk etika) yang membenarkan apa yang terjadi pada praktik alias membangun ilmu berdasarkan pragmatisme empiris generalis.
Katakan saja, memang benar adanya bahwa pada praktiknya, ternyata banyak terjadi korupsi di suatu wilayah. Berdasarkan penelitian pada wilayah tersebut, dengan melakukan pengambilan sampel untuk menggeneralisir hasil ditemukan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk maksimalisasi kekayaan. Jadilah pernyataan tersebut “kebenaran” karena secara empiris benar.
Pernyataan tersebut menjadi “teori” yang lalu difalsifikasi dan berdasarkan hasil empiris generalis dinyatakan benar, dst, dst…
Pertanyaan besarnya tentu saja: apakah kita hendak menerima kebenaran pragmatis empiris generalis, atau hendak menengok “teori” yang menawarkan “kebenaran” lain? Kuntowijoyo (200611) menjelaskan bahwa teori adalah:
Kalau ngikut yang ini, harusnya ilmu ndak sekadar dibangun dari pragmatis generalis.. namun mengonfirmasi kebenaran wahyu.
Jadi… kembali ke buku Etika Akuntansi sebagai “kebenaran” yang ditransfer kepada mahasiswa tadi (termasuk kebenaran SEF INTEREST), dapat disimpulkan bahwa ia merupakan buku etika yang mungkin bisa dikatakan hasil dari pembangunan ilmu “pragmatis empiris generalis” …
Kalau memang demikian bagaimana mungkin akuntansi dapat menyelesaikan masalah etisnya? 🙂 Atau mungkin ini memang buku Etika Akuntan Kapitalis ya…
Wallahu ‘alam bisshawab